Senin, 28 April 2014

bab 5 Hukum Perjanjian



Hukum Perjanjian

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum perjanjian sering diartikan sama dengan hukum perikatan. Hal ini berdasarkan konsep dan batasan definisi pada kata perjanjian dan perikatan. Pada dasarnya hukum perjanjian dilakukan apabila dalam sebuah peristiwa seseorang mengikrarkan janji kepada pihak lain atau terdapat dua pihak yang saling berjanji satu sama lain untuk melakukan suatu hal.
Sedangkan, hukum perikatan dilakukan apabila dua pihak melakukan suatu hubungan hukum, hubungan ini memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak untuk memberikan tuntutan atau memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur” sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Standar Kontrak
2.      Macam-macam Perjanjian
3.      Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
4.      Memahami Saat Lahirnya Perjanjian
5.      Memahami Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

BAB II
PEMBAHASAN
1.      STANDAR KONTRAK
Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perjanjian.
           Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain. Kapan sebenarnya perjanjian tersebut timbul dan mengikat para pihak? Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
  1. Kesepakatan para pihak
  2. Kecakapan untuk membuat perikatan
  3. Menyangkut hal tertentu
  4. Adanya causa yang halal
Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat objektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subjektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum (J.Satrio, 1992).
2.      MACAM-MACAM PERJANJIAN
a.      Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban.
·         Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
·         Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
·         Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
·         Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
c.   Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
·         Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
·         Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
·         Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
dPerjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
·         Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.
·         Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
·         Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.
3.   SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1.      Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.      Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita. Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi wanita. Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.       Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
4.       Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
4.  SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan. Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:
1.      Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu pokok persoalan tertentu.
4.      Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum. Suatu persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam suatu persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan di dalamnya.
5. PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN
·         Pembatalan
Suatu perjanjian dapat di batalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang di batalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
1.      Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak di perbaiki dalam jangka  waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.      Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.      Terkait resolusi atau perintah pengadilan.
4.      Terlibat hukum.
5.      Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan
perjanjian.
·         Pelaksanaan
Itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah di perjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah di buat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh di atur atau dibatalkan secara sepihak saja.
BAB III
PENUTUP

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang atau satu pihak berjanji pada seorang/pihak lain, dan dimana dua orang/dua pihak itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (pasal 1313 KUHPer). Sedangkan perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada salah satu untuk menuntutr barang sesuatu darin yang lainnya, sedangkan opihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian itun melibatkan perikatan. Di dalam pasal 1320 KUHPer B.W untuk syahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.      Sepakat mereka yang mengakibatkan dirinya
2.      Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3.      Suatu hal tertentu
4.      Suatu sebab yang halal
Daftar Pustaka
http://legalbanking.wordpress.com/materi-hukum/dasar-dasar-hukum-perjanjian/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar