Dampak
Inflansi Terhadap Perekonomian Indonesia
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Krisis moneter yang melanda
negara-negara anggota ASEAN, telah memporakporandakan struktur perekonomian
negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis
moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, telah
menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendisendi perekonomian
nasional.
Krisis moneter yang melanda
Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), akibat adanya domino
effect dari terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salah satunya telah
mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-barang yang diimpor Indonesia
dari luar negeri. Lonjakan harga barang-barang impor ini, menyebabkan harga
hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkat baik secara langsung
maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang memiliki kandungan
barang impor yang tinggi.
Karena gagal mengatasi krisis
moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut,
menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum dan semakin
berlarut-larut. Akibatnya, angka inflasi nasional melonjak cukup tajam.
Lonjakan yang cukup tajam terhadap
angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan nominal
masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin merosot. Juga,
pendapatan per kapita penduduk merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan
Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan
semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata
ekonomi bawah.
Jika melihat begitu dasyatnya
pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported inflation
yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan
perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara mencermati kembali
teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang menjadi sumber
penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah apakah yang
sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini.
B. Perumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan inflasi?
- Apa saja jenis-jenis inflasi menurut sifat, derajat, penyebab dan asalnya?
- Bagaimana perkembangan inflasi di Indonesia?
- Apa saja sumber-sumber yang menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia?
- Apa saja dampak dari terjadinya inflasi bagi perekonomian?
- Bagaimana cara-cara pengendalian inflasi yang dilakukan oleh pemerintah agar inflasi bisa tetap stabil?
C. Maksud dan Tujuan
Tujuan saya menulis makalah ini
adalah :
- Untuk mengetahui definisi dari inflasi.
- Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis inflasi menurut sifat, derajat, penyebab dan asalnya.
- Untuk melihat bagaimana perkembangan inflasi di Indonesia.
- Untuk mengetahui sumber-sumber yang menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia.
- Untuk mengetahui apa saja dampak dari inflasi bagi perekonomian.
- Untuk mengetahui bagaimana cara-cara pengendalian inflasi yang dilakukan oleh pemerintah agar inflasi bisa tetap stabil.
D. Metode Penelitian
Metode pencarian data atau bahan
materi yang saya gunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan mencari di
internet dan dengan melakukan studi pustaka.
BAB
II
PEMBAHASAN
Inflasi merupakan kecenderungan
kenaikan harga-harga secara umum dan terus-menerus. Dari definisi ini dapat
disimpulkan bahwa kenaikan harga satu atau beberapa barang pada suatu saat
tertentu dan hanya sementara, belum tentu menimbulkan inflasi. Disamping itu
perlu diamati berapa besar peranan harga barang-barang tersebut dalam
perhitungan inflasi (Insukindro, 1987 : 157).
Nopirin (1988 : 25) mengemukakan
bahwa inflasi adalah proses kenaikan harga-harga barang secara umum dan secara
terus-menerus.
Boediono (1990 : 161) mengatakan
bahwa inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum
dan terus-menerus.
Secara sederhana inflasi diartikan
sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga
dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila
kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. (www.bi.go.id).
Indikator yang sering digunakan
untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan
IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa
yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam
keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007
yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan
memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan
di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa
jenis barang/jasa di setiap kota.
Indikator inflasi lainnya
berdasarkan international best practice antara lain:
- Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. [Penjelasan lebih detail mengenai IHPB dapat dilihat pada web site Badan Pusat Statistik www.bps.go.id]
- Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
1. Jenis Inflasi
Dalam ilmu ekonomi, inflasi dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokan tertentu, dan
pengelompokan yang akan dipakai akan sangat bergantung pada tujuan yang hendak
dicapai. Berikut adalah jenis inflasi :
1.1.Menurut Sifatnya
Laju inflasi dapat berbeda antara
satu negara dengan negara lain atau dalam satu negara untuk waktu yang berbeda.
Atas dasar besarnya laju inflasi ; inflasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori,
yakni : merayap (creeping inflation), inflasi menengah (galloping inflation)
serta inflasi tinggi (hyper inflation). (Nopirin, 1988 : 27)
Biasanya creeping inflation ditandai
dengan laju inflasi yang rendah (>10% per tahun). Kenaikan berjalan secara
lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang relatif
lama.
Inflasi menengah (galloping
inflation) ditandai dengan kenaikan hargayang cukup besar (biasanya double
digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu yang
relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi.
Inflasi tinggi (hyper inflation)
merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai 5 atau 6
kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang
merosot dengan tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Perputaran uang
makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul apabila
pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang ditutup dengan mencetak uang.
1.2.Menurut Derajatnya
- Inflasi ringan di bawah 10% (single digit)
- Inflasi sedang 10% – 30%.
- Inflasi tinggi 30% – 100%.
- Hyperinflasion di atas 100%.
Laju inflasi tersebut bukanlah suatu
standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi
bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung
pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas ( yang
menderita ) dari inflasi yang sedang terjadi.
1.3.Menurut Penyebabnya
Demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya
peningkatan aggregate demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil
produksi di pasar barang. Akibatnya, akan menarik (pull) kurva permintaan
agregat ke arah kanan atas, sehingga terjadi excess demand, yang
merupakan inflationary gap. Dan dalam kasus inflasi jenis ini, kenaikan
harga-harga barang biasanya akan selalu diikuti dengan peningkatan output (GNP
riil) dengan asumsi bila perekonomian masih belum mencapai kondisi full-employment.
Pengertian kenaikkan aggregate demand seringkali ditafsirkan berbeda
oleh para ahli ekonomi. Golongan moneterist menganggap aggregate
demand mengalami kenaikkan akibat dari ekspansi jumlah uang yang beredar di
masyarakat. Sedangkan, menurut golongan Keynesian kenaikkan aggregate demand
dapat disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi; investasi; government
expenditures; atau net export, walaupun tidak terjadi ekspansi
jumlah uang beredar.
Cost push inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya aggregate
supply curve ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan aggregate
supply curve bergeser tersebut adalah meningkatnya harga faktor-faktor
produksi (baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri)
di pasar faktor produksi, sehingga menyebabkan kenaikkan harga komoditi
di pasar komoditi. Dalam kasus cost push inflation kenaikan harga
seringkali diikuti oleh kelesuan usaha.
1.4.Menurut Asalnya
Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan
pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter di dalam
negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat.
Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan
harga-harga komoditi di luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan
perdagangan dengan negara yang bersangkutan). Inflasi ini hanya dapat terjadi
pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka (open economy system).
Dan, inflasi ini dapat ‘menular’ baik melalui harga barang-barang impor maupun
harga barang-barang ekspor.
Terlepas dari
pengelompokan-pengelompokan tersebut, pada kenyataannya inflasi yang terjadi di
suatu negara sangat jarang (jika tidak boleh dikatakan tidak ada) yang
disebabkan oleh satu macam / jenis inflasi, tetapi acapkali karena kombinasi dari
beberapa jenis inflasi. Hal ini dikarenakan tidak ada faktor-faktor ekonomi
maupun pelaku-pelaku ekonomi yang benar-benar memiliki hubungan yang independen
dalam suatu sistem perekonomian negara. Contoh : imported inflation seringkali
diikuti oleh cost push inflation, domestic inflation diikuti dengan demand
pull inflation, dsb.
2.
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Seperti halnya yang terjadi pada
negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi di Indonesia masih
menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi makro yang meresahkan pemerintah
terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru
(sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat ditekan sampai pada single
digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan jika dilihat dari
seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin yang menderita
akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis moneter yang
kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari penyebab
jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat pesat
(mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin
besarnya presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa
meskipun angka inflasi di Indonesia termasuk dalam katagori tinggi, tetapi
dengan meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah yang menderita
akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di
Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
Di era reformasi sendiri walaupun
inflasi sudah bisa dikendalikan akan tetapi pemerintah harus tetap waspada
terhadap goncangan-goncangan ekonomi yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu yang
nantinya akan mempengaruhi keadaan perekonomian dan mempengaruhi tingkat
inflasi. Pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang
berhubungan dengan inflasi karena jika salah langkah akan mengakibatkan tingkat
inflasi yang tinggi. Hal tersebut tentu akan berbahaya bagi kondisi
perekonomian Indonesia. Untuk periode tahun 2010 sendiri tingkat inflasi cukup
stabil dan masih bisa dikendalikan dengan baik oleh pemerintah.
*Penetapan Target Inflasi
Target atau sasaran inflasi
merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi
dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank
Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah
dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan
melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Berdasarkan PMK No.143/PMK.011/2010
sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk periode 2010 – 2012,
masing-masing sebesar 5,0%, 5,0%, dan 4,5% dengan deviasi ±1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan
dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang
rendah dan stabil. Pemerintah dan Bank Indonesia akan senantiasa berkomitmen
untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi
kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya
pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan
membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu (anchor)
pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Lihat Peraturan Menteri Keuangan tentang sasaran inflasi
2010-2012)
Angka target atau sasaran inflasi
dapat dilihat pada web site Bank Indonesia atau web site instansi Pemerintah
lainnya seperti Departemen Keuangan,
Kantor
Menko Perekonomian, atau Bappenas. Sebelum UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
sasaran inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sementara setelah UU tersebut,
dalam rangka meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia maka sasaran inflasi
ditetapkan oleh Pemerintah.
Tabel
perbandingan Target Inflasi dan Aktual Inflasi
Tahun
|
Target
Inflasi
|
Inflasi
Aktual
(%, yoy) |
2001
|
4%
– 6%
|
12,55
|
2002
|
9%
– 10%
|
10,03
|
2003
|
9
+1%
|
5,06
|
2004
|
5,5
+1%
|
6,40
|
2005
|
6
+1%
|
17,11
|
2006
|
8
+1%
|
6,60
|
2007
|
6
+1%
|
6,59
|
2008
|
5
+1%
|
11,06
|
2009
|
4,5
+1%
|
2,78
|
2010*
|
5+1%
|
-
|
2011*
|
5+1%
|
-
|
2012*
|
4.5+1%
|
-
|
*)
berdasarkan PMK No.143/PMK.011/2010 tanggal 24 Agustus 2010
Tabel diatas menunjukkan
perbandingan target inflasi dan aktual inflasi dari tahun 2001-2012. Dan
dibawah ini kita akan melihat Laporan Inflasi yang berdasarkan Indeks Harga
Konsumen (IHK) periode April 2009 sampai November 2010.
LAPORAN
INFLASI (Indeks Harga Konsumen)
Berdasarkan perhitungan inflasi tahunan |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
3.
Sumber-sumber Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut,
terdapat beberapa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya inflasi di
Indonesia, yaitu :
3.1.Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris
jumlah uang beredar adalah faktor utama yang dituding sebagai penyebab
timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia
jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money
(M1). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya
merupakan bagian dari likuiditas perbankan.
Sejak tahun 1976 presentase uang
kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral
yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah terjadi proses
modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin
sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin
meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya
memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam
Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar
di Indonesia pada periode tahun 1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif
tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina).
Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun
1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit
anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari
kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sektor keuangan (terutama dalam hal
penurunan reserve requirement).
3.2.Defisit Anggaran Belanja
Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi
pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya
mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang.
Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang
menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan
kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama
defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri dengan cara
melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan
ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi
yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, defisit anggaran belanja ini ditutup
dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relatif aman terhadap tekanan
inflasi.
Dalam era pemerintahan Orde Baru,
kebutuhan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak
Pembangunan Jangka Panjang I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan
pembangunan sangat besar. Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana
pembangunan dari masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun
pendapatan pajak) di dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum
berkembang), juga kemampuan sektor swasta yang terbatas dalam melakukan
pembangunan, menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan.
Hal ini menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada
penerimaan rutin. Artinya, peran pengeluaran pemerintah dalam investasi tidak
dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga menimbulkan kesenjangan antara
pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat dikatakan telah terjadi defisit
struktural dalam keuangan negara.
Pada saat terjadinya oil booming,
era tahun 1970-an, pendapatan pemerintah di sektor migas meningkat pesat,
sehingga jumlah uang primer pun semakin meningkat. Hal ini menyebabkan
kemampuan pemerintah untuk berekspansi investasi di dalam negeri semakin
meningkat. Dengan kondisi tingkat pertumbuhan produksi domestik yang relatif
lebih lambat, akibat kapasitas produksi nasional yang masih berada dalam
keadaan under-employment, peningkatan permintaan (investasi) pemerintah
menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari masyarakat ke pemerintah.,
seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang inflasi. Hal inilah yang
menyebabkan timbulnya tekanan inflasi.
Tetapi, sejak berubahnya orientasi
ekspor Indonesia ke komoditi non migas, sejalan dengan merosotnya harga minyak
bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982), menyebabkan kemampuan pemerintah untuk
membiayai pembangunan nasional semakin berkurang pula, sehingga pemerintah
tidak dapat lagi mempertahankan posisinya sebagai penggerak (motor)
pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, menyebabkan secara bertahap peran
sebagai penggerak utama pembangunan nasional beralih ke pihak swasta nasional,
dengan demikian sumber tekanan inflasi pun beralih dari pemerintah beralih ke
non pemerintah (swasta).
Tekanan inflasi pada periode ini
lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor swasta dalam
melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan sektor perbankan yang
semakin ekspansif pula. Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang masih
saja relatif terbatas, maka pinjaman luar negeri yang sifatnya non komersial
maupun komersial pun semakin meningkat.
Akibatnya, tetap saja terjadi
defisit anggaran belanja negara dan neraca pembayaran, salah satu sebabnya
karena pemerintah tetap saja harus menyediakan infrastruktur dan suprastruktur
pembangunan ekonomi yang kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini
dapat dimaklumi karena kemampuan swasta nasional dalam pembangunan
infrastruktur ekonomi masih sangat terbatas.
3.3.Faktor-faktor dalam Penawaran
Agregat dan Luar Negeri
Kelambanan penyesuaian dari
faktor-faktor penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat ini lebih
banyak disebabkan oleh adanya hambatan-hambatan struktural (structural
bottleneck) yang ada di Indonesia. Harga bahan pangan merupakan salah satu
penyumbang terbesar terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Hal ini antara lain
disebabkan oleh ketegaran struktural yang terjadi di sektor pertanian sehingga
menyebabkan inelastisnya penawaran bahan pangan. Ketergantungan perekonomian
Indonesia yang besar terhadap sektor pertanian, yang tercermin oleh peranan
nilai tambahnya yang relatif besar dan daya serap tenaga kerjanya yang
sedemikian tinggi serta beban penduduk yang cukup tinggi, mengakibatkan harga
bahan pangan meningkat pesat. Umumnya, laju penawaran bahan pangan tidak dapat
mengimbangi laju permintaannya, sehingga sering terjadi excess demand yang
selanjutnya dapat memunculkan inflationary gap.
Timbulnya excess demand ini
disebabkan oleh percepatan pertambahan penduduk yang membutuhkan bahan pangan
tidak dapat diimbangi dengan pertambahan output pertanian, khususnya pangan. Di
sisi lain, kelambanan produksi bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal,
diantaranya adalah tingkat modernisasi teknologi dan metode pertanian yang
kurang maksimal; adanya faktor-faktor eksternal dalam pertanian seperti,
perubahan iklim dan bencana alam; perpindahan tenaga kerja pertanian ke sektor
non pertanian akibat industrialisasi; juga semakin sempitnya luas lahan yang
digunakan untuk pertanian, yang disebabkan semakin banyaknya lahan pertanian
yang beralih fungsi sebagai lokasi perumahan; industri; dan pengembangan kota.
Lebih lanjut, menurut hasil study
empiris yang pernah dilakukan oleh Sri Mulyani Indrawati (1996), selain harga
bahan pangan, kontributor inflasi di Indonesia lainnya dari sisi penawaran
agregat adalah imported inflation, administrated goods, output
gap, dan interest rate.
Pertama, imported inflation ini
terjadi akibat tingginya derajat ketergantungan sektor riil di Indonesia
terhadap barang-barang impor, baik capital goods; intermediated good;
maupun row material. Transmisi imported inflation di Indonesia
ini terjadi melalui dua hal, yaitu depresiasi rupiah terhadap mata uang asing
dan perubahan harga barang impor di negara asalnya. Bila suatu ketika terjadi
depresiasi rupiah yang cukup tajam terhadap mata uang asing, maka akan
menyebabkan bertambah beratnya beban biaya yang harus ditanggung oleh produsen,
baik itu untuk pembayaran bahan baku dan barang perantara ataupun beban hutang
luar negeri akibat ekspansi usaha yang telah dilakukan. Hal ini menyebabkan
harga jual output di dalam negeri (khususnya untuk industri subtitusi impor)
akan meningkat tajam, sehingga potensial meningkatkan derajat inflasi di dalam
negeri. Tetapi, untuk industri yang bersifat promosi ekspor, depresiasi
tersebut tidak akan membawa dampak buruk yang signifikan. Berkaitan dengan posisi
hutang luar negeri Indonesia, pada periode tahun 1990-an, telah membengkak
dengan tingkat debt service ratio yang semakin tinggi, yaitu lebih dari
40 %, dan presentase tingkat hutang yang bersifat komersial telah melampaui
hutang non komersial. Menyebabkan, timbulnya hal yang sangat membahayakan
ketahanan ekonomi nasional, terutama pada sektor finansial, apabila terjadi
fluktuasi (memburuknya) nilai tukar (kurs), disamping dapat mengakibatkan
tekanan inflasi yang berat, khususnya imported inflation.
Kedua, administrated goods adalah
barang-barang yang harganya diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Meskipun
pengaruhnya secara langsung sangat kecil dalam mempengaruhi tingkat inflasi,
tetapi secara situasional dan tidak langsung pengaruhnya dapat menjadi
signifikan. Contoh, apabila terjadi kenaikan BBM, maka bukan saja harga BBM
yang naik, harga barang atau tarif jasa yang terkait dengan BBM juga akan ikut
dinaikan oleh masyarakat. Akibatnya, dapat memperberat tekanan inflasi.
Ketiga, output gap adalah perbedaan
antara actual output (output yang diproduksi) dengan potential output
(output yang seharusnya dapat diproduksi dalam keadaan full employment).
Adanya kesenjangan (gap) ini terjadi karena faktor-faktor produksi yang
dipakai dalam proses produksi belum maksimal dan atau efisien.
Keempat, interest rate juga
merupakan faktor penting yang menyumbang angka inflasi di Indonesia. Memang
pada awalnya merupakan hal yang cukup membingungkan dalam menentukan manakah
yang menjadi independent variable atau dependent, antara inflasi
dan suku bunga. Tetapi, bila ditilik dari sisi biaya produksi dan investasi
(sisi penawaran), maka jelaslah bahwa suku bunga dapat dikatagorikan dalam
komponen biaya-biaya tersebut. Dengan relatif tingginya tingkat suku bunga
perbankan di Indonesia, menyebabkan biaya produksi dan investasi di Indonesia,
yang dibiayai melalui kredit perbankan, akan tinggi juga. Jadi, apabila tingkat
suku bunga meningkat, maka biaya produksi akan meningkat, selanjutnya akan
meningkatkan pula harga output di pasar, akibatnya terjadi tekanan inflasi.
Akhirnya, relasi antara tingkat suku bunga dan inflasi ini bisa menjadi interest
rate-price spiral.
4.
Dampak Inflasi Bagi Perekonomian
Inflasi berdasarkan dampaknya bagi
perekonomian dapat dibagi menjadi dua, yaitu berdampak positif dan negatif.
Berikut merupakan penjelasan dari kedua dampak inflasi tersebut :
a)
Dampak Positif Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan
dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu
ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong
perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat
orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Orang yang
mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha,
tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang
bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Bagi orang yang meminjam uang kepada
bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada
kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya,
kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai
uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat
menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan
biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk
melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun,
bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan
produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa
menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup
mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya
terjadi pada pengusaha kecil).
b) Dampak
Negatif Inflasi
Dalam masa inflasi yang parah, yaitu
pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian
menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat
kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat
dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau
karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi
harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke
waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki
pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan
pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun
kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang
pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Inflasi juga menyebabkan orang
enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan
menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap
saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit
berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank
yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Tetapi secara umum, inflasi dapat
mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong tingkat bunga,
mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan
pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya
tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
5.
Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi
pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan
dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa
dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada
demand pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun
tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di
Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal
tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat
struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara
penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sektor pertanian,
yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia
lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat
harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter
sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau
reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter
lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat
baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada
negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi,
apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan
inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem
inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi di
Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi,
inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported
inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari
terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing
lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu
harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya
dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs,
pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan instrumen moneter melalui
otoritas moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain dapat
menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke
Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum.
Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI
(melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan
efektif untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan
meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan
timbulnya cost push inflation karena adanya interest rate-price
spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu
tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada
di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya
stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo
effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia
perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil,
tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika
kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah
atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur
perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya
kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist
saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist,
yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai
hambatan dalam pembangunan perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di
atas, maka perlu berbagai upaya pembenahan, yaitu :
5.1.Meningkatkan Supply Bahan
Pangan
Meningkatkan supply bahan
pangan dapat dilakukan dengan lebih memberikan perhatian pada pembangunan di
sektor pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi
dan metode pengolahan lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu
dilakukan untuk meningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada
pangan.
5.2.Mengurangi Defisit APBN
Mungkin dalam masa krisis ekonomi
mengurangi defisit APBN tidak dapat dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang
(setelah krisis berlalu) perlu dilakukan. Untuk mengurangi defisit anggaran
belanja, pemerintah harus dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari
sektor pajak dengan benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess
demand. Dengan semakin naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan
pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman dana dari luar
negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya akan lebih
mencerminkan sifat yang relative independent.
5.3.Meningkatkan Cadangan Devisa
Pertama, perlu memperbaiki posisi
neraca perdagangan luar negeri (current account), terutama pada
perdagangan jasa, agar tidak terus menerus defisit. Dengan demikian
diharapkan cadangan devisa nasional akan dapat ditingkatkan. Juga, diusahakan
untuk meningkatkan kinerja ekspor, sehingga net export harus semakin meningkat.
Kedua, diusahakan agar dapat
mengurangi ketergantungan industri domestik terhadap barang-barang luar
negeri, misalnya dengan lebih banyak memfokuskan pembangunan pada
industri hulu yang mengolah sumberdaya alam yang tersedia di dalam
negeri untuk dipakai sebagai bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga
perlu dikembangkan industri yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk
industri di dalam negeri.
Ketiga, mengubah sifat industri dari
yang bersifat substitusi impor kepada yang lebih bersifat promosi
ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga dan meningkatkan net
export. Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai
tambah yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif
tinggi pula.
5.4.
Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat
Pertama, mengurangi kesenjangan
output (output gap) dengan cara meningkatkan kualitas sumberdaya
pekerja, modernisasi teknologi produksi, serta pembangunan industri manufaktur
nasional agar kinerjanya meningkat. Kedua, memperlancar jalur distribusi barang
nasional, supaya tidak terjadi kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat
regional (daerah). Ketiga, menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan
perbankan nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses industrialisasi
nasional. Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam perekonomian agar market
mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau bahkan
menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan distorsi pasar.
Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena
acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.
Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist
dan strukturalist) pada komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan
saja dalam jangka pendek inflasi dapat dikendalikan, tetapi juga dalam jangka
panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk memperkecil atau bahkan
menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada, maka akan berakibat pada
membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah inflasi di Indonesia
ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga merupakan
fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan
semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor
moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan
fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi juga mengindikasikan
masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang
belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila mengacu pada usaha pengeliminasian
hambatan-hambatan struktural tersebut, maka mau tidak mau harus memperhatikan
dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor riil. Dengan melakukan pembenahan
di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin sampai pada tahap messo dan micro
ekonomi, maka kemantapan fundamental ekonomi Indonesia dapat diperkokoh.
Defisit APBN, peningkatan cadangan
devisa, pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub sektor pangan,
pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat
merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat
menekan inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping
tentunya pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.
B. Implikasi Kebijakan
Dengan pertimbangan bahwa laju
inflasi dipengaruhi oleh faktor yang bersifat kejutan tersebut maka pencapaian
sasaran inflasi memerlukan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dan BI
melalui kebijakan makroekonomi yang terintegrasi naik dari kebijakan fiskal,
moneter maupun sektoral. Lebih jauh, karakteristik inflasi Indonesia yang cukup
rentan terhadap kejutan-kejutan (shocks) dari sisi penawaran memerlukan
kebijakan-kebijakan khusus untuk permasalahan tersebut.
Dalam tataran teknis, koordinasi
antara pemerintah dan BI perlu diwujudkan dengan membentuk Tim Koordinasi
Penetapan Sasaran, Pemantauan dan Pengendalian Inflasi (TPI) di tingkat pusat.
Anggota TPI, terdiri dari Bank Indonesia dan departmen teknis terkait di
Pemerintah seperti Departemen Keuangan, Kantor Menko Bidang Perekonomian, Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian,
Departemen Perhubungan, dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menyadari
pentingnya koordinasi tersebut, pembentukan TPI diperluas hingga ke level
daerah. Ke depan, koordinasi antara Pemerintah dan BI diharapkan akan semakin
efektif dengan dukungan forum TPI baik pusat maupun daerah sehingga dapat
terwujud inflasi yang rendah dan stabil, yang bermuara pada pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi_dan_perekonomian_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar