Selasa, 10 Juni 2014

Aspek Hukum dalam Ekonomi ( Tulisan 2)



Nama  : Ika Nur Stantia
NPM   : 23212576
Kelas  : 2EB23
 Cita – Cita Setelah Lulus Kuliah

Cita – cita saya setelah lulus kuliah nanti adalah menjadi seorang akuntan hebat di perusahaan besar dan mempunyai penghasilan yang bagus. Tujuan kita kuliah adalah untuk mencari pekerjaan yang layak dengan penghasilan yang baik, dibandingkan dengan lulusan SMA. Dengan ilmu yang saya peroleh selama menuntut ilmu di bangku perguruan tinggi ini, saya berharap  bisa menjadi modal dalam meraih cita-cita saya. Selain itu, saya juga berkeinginan untuk melanjutkan kuliah ke Jenjang S2 (amin). Dan yang terpenting dari hal ini semua adalah membahagiakan kedua orang tua saya selepas saya lulus kuliah nanti.
Semoga apa yang saya cita-citakan ini dapat terwujud , dan Saya berharap dengan ini saya bisa menjadi makhluk yang bermanfaat bukan hanya bagi keluarga saya melainkan bagi seluruh masyarakat dengan ilmu yang saya miliki (amin).

Bab 13 Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat



Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Persaingan harus dipandang sebagai hal yang positif dan sangat esensial dalam dunia usaha.Dengan persaingan, para pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus menerus memperbaiki produk dan melakukan inovasi atas produk yang dihasilkan untuk memberikan yang terbaik bagi pelanggan. Dari sisi konsumen, mereka akan mempunyai pilihan dalam membeli produk dengan harga murah dan kualitas terbaik.
Seiring dengan berjalannya usaha para pelaku usaha mungkin lupa bagaimana bersaing dengan sehat sehingga muncullah persaingan-persaingan yang tidak sehat dan pada akhirnya timbul praktek monopoli.
Dengan adanya pratek monopoli pada suatu bidang tertentu, berarti terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kantong sendiri. Disini monopoli diartikan sebagai kekuasaan menentukan harga, kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan kepada masyarakat. Masyarakat tidak pernah diberi kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu maupun jumlah. Kalau mau silakan dan kalau tidak mau tidak ada pilihan lain. Itulah citra kurang baik yang ditimbulkan oleh keserakahan pihak tertentu yang memonopoli suatu bidang.
B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian monopoli
2.      Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
3.      Kegiatan yang Dilarang dalam Antimonopoli
4.      Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
5.      Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
6.      Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
7.      Sanksi  dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Monopoli
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis". Sebagai penentu harga (price-maker), seorang monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
B.     Asas dan Tujuan
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, azas dan tujuan adalah sebagai berikut:
1.      Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.      Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3.      Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.      Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
C.    Kegiatan yang dilarang dalam Antimonopoli
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum sepihak. Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1.      Monopoli
      Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2.      Monopsoni
      Situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3.      Penguasaan pasar
      Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a.      menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan.
b.      menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya.
c.       membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan.
d.      melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4.      Persekongkolan
      Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5.      Posisi Dominan
      Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6.      Jabatan Rangkap
      Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7.      Pemilikan Saham
      Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8.      Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
      Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
D.    Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
1.       Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2.      Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a.      Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
b.      Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
c.       Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
d.      Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
3.      Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4.      Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5.      Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6.      Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7.      Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8.      Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9.      Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10.  Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
E.     Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
·         Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
-          Monopoli
-          Monopsoni
-          Penguasaan pasar
-          Persekongkolan
·         Posisi dominan, yang meliputi :
-          Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
-          Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
-          Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
-          Jabatan rangkap
-          Pemilikan saham
-          Merger, akuisisi, konsolidasi
F.     Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
G.    Sanksi  dalam Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
·         Pasal 48
1.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2.       Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3.      Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
·         Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a.       pencabutan izin usaha; atau
b.      larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c.       penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.


Daftar Pustaka

Hardjan ruslie. Hukum perjanjian indonesia dan common law. Cet II. Jakarta : Pustaka sinar Harapan. 1996

Senin, 09 Juni 2014

Bab 14 Penyelesaian Sengketa Ekonomi



Penyelesaian Sengketa Ekonomi 

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Saat membicarakan hukum dan institusi negara yang melaksanakan hukum, maka kita kerap mengaitkannya dengan wacana tentang “keadilan formal” (formal justice) yang dijalankan dan dihasilkan oleh hukum maupun proses hukum yang juga formal. Mengapa dikatakan “formal”, mengingat proses hukum yang dilaksanakan oleh institusi negara di bidang hukum itu didasarkan pada hukum yang tertulis dan terkodifikasikan, dilakukan oleh aparat resmi negara yang diberi kewenangan, serta membutuhkan proses beracara yang juga standar dan mengabadi.
Namun demikian, wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salahsatu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapatnya dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Bila dikaitkan dengan cita-cita mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia guna membentuk Negara Hukum (recht staat), dan bukan Negara Kekuasaan (macht staat), maka salahsatu indikator capaiannya adalah terbentuknya kondisi dan kemampuan warga negara atau masyarakat untuk patuh hukum (citizen who abides the law), atau bahkan masyarakat yang patuh hukum (law abiding citizen). Dalam situasi tersebut, proses penegakan hukum tidak seyogyanya sepenuhnya atau selamanya dilakukan dengan mempergunakan metode keadilan formal, yang salahsatunya berupa tindakan kepolisian represif dan dilanjutkan dengan proses hukum litigatif (law enforcement process). Sebagaimana disadari, tindakan formal litigatif tersebut banyak bergantung pada upaya paksa dan kewenangan petugas hukum yang melakukannya. Selanjutnya, kalaupun muncul suatu hasil, maka umumnya akan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost)
Memang, tidak terlalu tepat untuk mengatakan yang sebaliknya, bahwa dalam suatu negara kekuasaan atau macht staat tadi, yang cenderung dilakukan adalah proses penegakan hukum formal via litigasi. Dalam kenyataannya, di negara-negara seperti itu, kalaupun dilakukan suatu proses penegakan hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum, yang sering terjadi adalah suatu formalitas hukum atau bahkan pengenyampingan hukum sama sekali.  Adalah kooptasi besar-besaran pada elemen-elemen negara bidang hukum itulah (contoh terjelas adalah terhadap peradilan), sehingga mampu menghasilkan putusan yang tidak hanya bias dan diskriminatif tetapi justru malah tidak adil.
Dalam konteks kehadiran masyarakat yang mau untuk patuh pada hukum ataupun yang telah patuh hukum dalam suatu negara kesatuan tersebut, maka semangat yang muncul dewasa ini adalah juga semangat pengenyampingan untuk tidak mempergunakan proses penegakan hukum via litigasi tersebut. Namun bedanya adalah, dalam konteks ini, pengenyampingan dilakukan guna mencapai suatu situasi “menang-menang” (win-win) antara pihak-pihak terkait, yang diperkirakan juga akan lebih menyembuhkan (healing) terkait para pihak yang terlibat (khususnya korban), serta lebih resolutif (sebagai suatu kata bentukan “re-solusi” yang dapat diartikan sebagai “tercapainya kembali solusi yang sebelumnya tidak lagi diperoleh”). Minimal, pengakhiran konflik atau sengketa bisa dilakukan tanpa ada pihak yang kehilangan muka atau elegant solution.
Alternatif terkait pengenyampingan tersebut adalah, bahwa diperkirakan akan lebih tepat apabila dalam kondisi, alasan  dan atau perbuatan tertentu, bisa dilakukan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif atau alternative dispute resolutions (selanjutnya disebut dengan ADR).
B.     Rumusan Masalah
A.    Pengertian Sengketa
B.     Cara-cara Penyelesaian Sengketa
C.     Negosiasi                
D.    Mediasi
E.     Arbitrase
F.      Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sengketa
Dalam bahasa Indonesia sengketa berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
Berikut ini pengertian sengketa menurut beberapa ahli:
a.      Windiarti
 “Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.”
b.      Ali Achmad
“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.”
Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya.
B.     Cara – Cara Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa ekonomi bertujuan untuk menghentikan pertikaian dan menghindari kekerasan dan akkibat-akibat yang mungkin akan terjadi akibat dari persengketaan tersebut.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:
1.      Negosiasi (perundingan)
 penyelesaikan sengketa melalui diskusi formal tanpa melibatkan pihak ketiga.
2.      Enquiry (penyelidikan)
 kegiatan untuk mencari fakta yang dilakukan oleh pihak ketiga.
3.      Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak    dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.

C.    Negosiasi
Negosiasi adalah suatu cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa melalui diskusi formal yang nantinya akan melahirkan perjanjian-perjanjian dimana perjanjian tersebut tidak memberatkan kedua-belah pihak.
Pola Perilaku dalam Negosiasi
1.      Moving against (pushing): menjelaskan, menghakimi, menantang, tak menyetujui, menunjukkan kelemahan pihak lain.
2.      Moving with (pulling): memperhatikan, mengajukan gagasan, menyetujui, membangkitkan motivasi, mengembangkan interaksi.
3.      Moving away (with drawing): menghindari konfrontasi, menarik kembali isi pembicaraan, berdiam diri, tak menanggapi pertanyaan.
4.      Not moving (letting be): mengamati, memperhatikan, memusatkan perhatian pada “here and now”, mengikuti arus, fleksibel, beradaptasi dengan situasi.
·         Ketrampilan Negosiasi
1.      Mampu melakukan empati dan mengambil kejadian seperti pihak lain mengamatinya.
2.      Mampu menunjukkan faedah dari usulan pihak lain sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi bersedia mengubah pendiriannya.
3.      Mampu mengatasi stres dan menyesuaikan diri dengan situasi yang tak pasti dan tuntutan di luar perhitungan.
4.      Mampu mengungkapkan gagasan sedemikian rupa sehingga pihak lain akan memahami sepenuhnya gagasan yang diajukan.
5.      Cepat memahami latar belakang budaya pihak lain dan berusaha menyesuaikan diri dengan keinginan pihak lain untuk mengurangi kendala.
D.    Mediasi
Mediasi adalah metode penyelesaian sengketa melalui proses perundingan yang dibantu oleh pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan sama sekali dengan masalah tersebut untuk mengambil keputusan. maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung.,sehingga segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau consensus.
·         Prosedur Untuk Mediasi
1.      Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2.      Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3.      Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
4.      Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22 harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan
Mediator adalah pihak yang berperan sebagai penengah dalam memecahkan suatu sengketa.Mediator merupakan pihak yang netral,tidak memilih antara salah satu pihak. Adapun tugas sebagai mediator :
1.      Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihakuntuk dibahas dan disepakati.
2.      Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi.
3.      Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
4.      Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
E.     Arbitrase
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak menyerahkan kewenangan kepada kepada pihak yang netral, yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
·         Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri;
·         Asas limitatif, artinya adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbirase, yaiu terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdagangan dan hak-hak yang dikuasai sepenuhnya oleh para pihak;
·         Asas final and binding, yaitu suatu putusan arbitrase bersifat puutusan akhir dan mengikat yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain, seperi banding atau kasasi. Asas ini pada prinsipnya sudah disepakati oleh para pihak dalam klausa atau perjanjian arbitrase.
Sehubungan dengan asas-asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,Tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
Dalam dunia bisnis,banyak pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau yang dihadapi.
F.     Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Adapun perbandingan antara Perundingan, Arbitrase dan Letigasi adalah :
Proses
Perundingan
Arbitrase
Litigasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
Segera ( 3-6 minggu )
Agak cepat ( 3-6 bulan )
Lama ( > 2 tahun )
Biaya
Murah ( low cost )
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
Aturan pembuktian
Tidak perlu
Agak informal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif
Antagonistis
Antagonistis
Fokus penyelesaian
For the future
Masa lalu
Masa lalu
Metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
Jalan buntu
Result
win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosinal
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak





BAB III
Penutup
Kesimpulan
Dari uraian penjelasan yang sudah ada, saya dapat mengambil kesimpulan yaitu dalam penyelesaian Sengketa dalam Ekonomi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantarnya melalui:
·         Negosiasi adalah  Suatu bentuk pertemuan antara dua pihak: pihak kita dan pihak lawan dimana kedua belah pihak bersama-sama mencari hasil yang baik, demi kepentingan kedua pihak.
·         Mediasi   adalah  Pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
·         Arbitrase adalah Kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
Perbedaan ketiga terletak dari peran mereka dalam menyelesaikan suatu pertikain yang ada. Negosiasi tidak menggunakan pihak ketiga untuk menyelesaikan suatu pertikaian, Arbitrase diantara kedua pihak yang bertikai memerlukan pihak ketiga untuk menyelesaikan permasalahan mereka tetapi peran pihak ketiga ini hanya sebagai pemberi saran dan tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan suatu pertikaian tersebut. Sedangkan Arbitrase ialah Pihak ketiga yang dibutuhkan antara kedua pihak yang bertikai dan mempunyai kekuatan hukum yang kuat untuk memutuskan suatu permasalahan yang ada karena mereka tidak dapat menyelesaikan perikaian tersebut.


Daftar Pustaka

http://id.wikipedia.org/wiki/Negosiasi